SUMATERA
UTARA
Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak
di Pulau Sumatera, Indonesia dan beribukota di Medan
Provinsi Sumatera Utara terletak
pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi
Sumatera Utara 72.981,23 km².
Sumatera Utara pada dasarnya dapat
dibagi atas:
- Pesisir Timur
- Pegunungan Bukit Barisan
- Pesisir Barat
- Kepulauan Nias
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam
provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur
yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga
merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan
wilayah lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasuk residentie
Sumatra's Oostkust bersama provinsi Riau.
Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan
Bukit Barisan. Di pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi
kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba
dan Pulau Samosir,
merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Pesisir barat merupakan wilayah yang
cukup sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak,
Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini masuk
ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau.
Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah
pulau Simuk (kepulauan
Nias),
dan pulau
Berhala
di selat Sumatera (Malaka).
Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau
kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat
di
Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di
Gunung Sitoli.
Kepulauan Batu terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini,
Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi.
Kepulauan Batu terletak di tenggara kepulauan Nias.
Pulau-pulau lain di Sumatera Utara: Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia,
Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga.
Di Sumatera Utara saat ini terdapat dua taman nasional, yakni
Taman Nasional Gunung Leuser dan
Taman Nasional Batang Gadis. Menurut
Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor 44 Tahun 2005, luas hutan di Sumatera Utara
saat ini 3.742.120 hektare (ha). Yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam/Kawasan
Pelestarian Alam seluas 477.070 ha, Hutan Lindung 1.297.330 ha, Hutan Produksi
Terbatas 879.270 ha, Hutan Produksi Tetap 1.035.690 ha dan Hutan Produksi yang
dapat dikonversi seluas 52.760 ha.
Namun angka ini sifatnya secara
de jure saja. Sebab secara
de
facto, hutan yang ada tidak seluas itu lagi. Terjadi banyak kerusakan
akibat perambahan dan pembalakan liar. Sejauh ini, sudah 206.000 ha lebih hutan
di Sumut telah mengalami perubahan fungsi. Telah berubah menjadi lahan
perkebunan, transmigrasi. Dari luas tersebut, sebanyak 163.000 ha untuk areal
perkebunan dan 42.900 ha untuk areal transmigrasi.
Sumatera Utara merupakan provinsi
keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat,
Jawa Timur,
dan Jawa Tengah.
Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990, penduduk Sumatera
Utara berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2010 jumlah penduduk Sumatera
Utara telah meningkat menjadi 12,98 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara
pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2010 meningkat menjadi
178 jiwa per km². Dengan Laju Pertumbuhan Penduduk dari tahun 2000-2010 sebesar
1,10 persen.
Kadar
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sumatera Utara setiap tahunnya
tidak tetap. Pada tahun 2000 TPAK di daerah ini sebesar 57,34 persen, tahun
2001 naik menjadi 57,70 persen, tahun 2002 naik lagi menjadi 69,45 persen.
Sosial
kemasyarakatan
Suku
bangsa
Sumatera Utara merupakan provinsi
multietnis dengan Batak, Nias,
dan Melayu
sebagai penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Sumatera Utara, pada
umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu. Pantai barat dari Barus hingga Natal,
banyak bermukim orang Minangkabau. Wilayah tengah sekitar Danau Toba,
banyak dihuni oleh Suku Batak yang sebagian besarnya beragama Kristen.
Suku Nias
berada di kepulauan sebelah barat. Sejak dibukanya perkebunan tembakau
di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia
Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di
perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa
dan Tionghoa.
Pusat penyebaran suku-suku di Sumatera Utara, sebagai berikut :
- Suku Melayu : Pesisir Timur, terutama
di kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Langkat
- Suku Batak Karo : Kabupaten Karo
- Suku Batak Toba : Kabupaten
Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten
Toba Samosir
- Suku Batak Mandailing :
Kabupaten Mandailing Natal
- Suku Batak Angkola : Kabupaten
Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas
- Suku Batak Simalungun :
Kabupaten Simalungun
- Suku Batak Pakpak : Kabupaten
Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat
- Suku Nias : Pulau Nias
- Suku Minangkabau : Kota Medan,
Kabupaten Batubara, Pesisir barat
- Suku Aceh : Kota Medan
- Suku Jawa : Pesisir timur
- Suku Tionghoa : Perkotaan pesisir
timur & barat.
Bahasa
Pada dasarnya, bahasa yang
dipergunakan secara luas adalah Bahasa
Indonesia. Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan Bahasa Indonesia
karena kedekatannya dengan Bahasa Melayu yang menjadi bahasa ibu
masyarakat Deli. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek,
Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu dialek "o"
begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di Kabupaten
Langkat masih menggunakan bahasa Melayu dialek "e" yang sering juga
disebut bahasa Maya-maya. Mayarakat Jawa di daerah perkebunan, menuturkan
Bahasa Jawa sebagai pengantar sehari-hari.
Di kawasan perkotaan, orang Tionghoa
lazim menuturkan Bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di
pegunungan, masyarakat Batak menuturkan Bahasa Batak
yang terbagi atas empat logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias
dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang di pesisir
barat, seperti Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Mandailing Natal
menggunakan Bahasa Minangkabau.
Musik
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat
yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Seperti pada Etnis
Pesisir terdapat serangkaian alat musik yang dinamakan Sikambang.
Arsitektur
Dalam bidang
seni rupa yang menonjol adalah arsitektur
rumah adat yang merupakan
perpaduan dari hasil
seni pahat dan
seni ukir serta hasil seni
kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk ornamen.Pada
umumnya bentuk bangunan rumah adat pada kelompok adat batak melambangkan
"kerbau berdiri tegak". Hal ini lebih jelas lagi dengan menghias
pucuk atap dengan kepala
kerbau.
Rumah adat etnis Batak,
Ruma Batak, berdiri kokoh
dan megah serta masih banyak ditemui di
Samosir.
Rumah adat
Karo
kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat lainnya.
Atapnya terbuat dari
ijuk dan biasanya ditambah dengan
atap-atap yang lebih kecil berbentuk segitiga yang disebut "ayo-ayo
rumah" dan "tersek". Dengan atap menjulang berlapis-lapis itu
rumah Karo memiliki bentuk khas dibanding dengan rumah tradisional lainnya yang
hanya memiliki satu lapis atap di Sumatera Utara.
Bentuk rumah adat di daerah Simalungun cukup memikat. Kompleks rumah adat di
desa Pematang Purba terdiri dari beberapa bangunan yaitu rumah bolon, balai
bolon, jemur, pantangan balai butuh, dan lesung.
Bangunan khas Mandailing yang menonjol disebut "Bagas Gadang"
(rumah Namora Natoras) dan "Sopo Godang" (balai musyawarah adat).
Rumah adat di pesisir barat kelihatan lebih megah dan lebih indah
dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Rumah adat ini masih berdiri kokoh di
halaman Gedung Nasional Sibolga.
Tarian
Perbendaharaan seni tari tradisional meliputi berbagai jenis. Ada yang
bersifat magis, berupa tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang
berupa tari profan. Di samping tari adat yang merupakan bagian dari upacara
adat, tari sakral biasanya ditarikan oleh dayu-datu. Termasuk jenis tari ini
adalah tari guru dan tari tungkat. Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat
sakti yang disebut
Tunggal Panaluan.
Tari profan biasanya ialah tari pergaulan muda-mudi yang ditarikan pada
pesta gembira. Tortor ada yang ditarikan saat acara perkawinan. Biasanya
ditarikan oleh para hadirin termasuk pengantin dan juga para muda-mudi. Tari
muda-mudi ini, misalnya morah-morah, parakut, sipajok, patam-patam sering dan
kebangkiung. Tari magis misalnya tari tortor nasiaran, tortor tunggal panaluan.
Tarian magis ini biasanya dilakukan dengan penuh kekhusukan.
Selain tarian Batak terdapat pula tarian
Melayu
seperti Serampang XII.
Kerajinan
Selain arsitektur,tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku
Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan
kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian,
mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau
rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna
tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi kehidupan.
Pada suku Pakpak ada tenunan yang dikenal dengan nama
oles. Bisanya
warna dasar oles adalah hitam kecokelatan atau putih.
Pada suku Karo ada tenunan yang dikenal dengan nama
uis. Bisanya
warna dasar uis adalah biru tua dan kemerahan.
Pada masyarakat pesisir barat ada tenunan yang dikenal dengan nama
Songket
Barus. Biasanya warna dasar kerajinan ini adalah Merah Tua atau Kuning
Emas.
Makanan khas
Makanan Khas di Sumatera Utara sangat bervariasi, tergantung dari daerah
tersebut. Saksang dan Babi panggang sangat familiar untuk mereka yang
melaksanakan pesta maupun masakan rumah. Misalkan seperti didaerah Pakpak
Dairi, Pelleng adalah makanan khas dengan bumbu yang sangat pedas.
Di tanah Batak sendiri ada
dengke naniarsik yang merupakan ikan yang
digulai tanpa menggunakan kelapa. Untuk cita rasa, tanah Batak adalah surga
bagi pecinta makanan santan dan pedas.
Pasituak Natonggi atau uang beli
nira yang manis adalah istilah yang sangat akrab disana, menggambarkan betapa
dekatnya
tuak atau nira dengan kehidupan mereka.
SUMEDANG
Kabupaten Sumedang, adalah sebuah
kabupaten
di
Provinsi
Jawa Barat,
Indonesia.
Ibukotanya adalah kecamatan
Sumedang Utara, Sumedang,
[1]
sekitar 45 km Timur Laut
Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Indramayu di Utara,
Kabupaten Majalengka di Timur,
Kabupaten
Garut di Selatan,
Kabupaten
Bandung di Barat Daya, serta
Kabupaten
Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26
kecamatan,
yang dibagi lagi atas sejumlah
desa dan
kelurahan. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar
45 km dari
Kota Bandung. Kota ini meliputi kecamatan
Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur
utama Bandung-
Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan
Kota Bandung.
IPDN (Institut
Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri), serta
Universitas Padjadjaran berlokasi di
Kecamatan
Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil
wilayah Utara berupa dataran rendah.
Gunung
Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan
Raja
Galuh. Didirikan oleh Prabu
Geusan Ulun Aji Putih atas
perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke
Pakuan
Pajajaran,
Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa
perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak
dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada
abad ke-12.
Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang
berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi
Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata
Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan
larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran
Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun
1578, dan dikenal luas
hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan
sampai dengan
Samudera Hindia, wilayah Utara sampai
Laut Jawa,
wilayah Barat sampai dengan
Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan
Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal
Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di
bawah kendali
Kesultanan Mataram, di masa Sultan Agung. Pada
masa Mataram inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan
menjadi awal istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu
hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia
wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu,
aksara
Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan
dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini,
mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada
abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika
Pakubuwono I harus memberikan konsesi kepada
VOC, wilayah kekuasaan
Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah, sehingga wilayah
Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai
kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang
dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah
alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun
pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri
Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas
jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada
tanggal 22 Juli
1922 oleh Gubernur
Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan
lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari
jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R.
Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara,
keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada
tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo
Lingga:
- Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya
kepada diri sendiri
- Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
- Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
- Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada
Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
- Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam
mencapai kemajuan
- Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi
dan kebesaran jiwa
- Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti
tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
- Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
- 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah
Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Tahun 1945
- Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat
kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
- Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris
dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal :
Keluar).
- Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun
berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini
bersifat mistik.
- Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun
Medal berasal dari kata Su dan Medang
Menurut Bujangga Manik, di dekat
Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon
dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara
Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada saat Bujangga Manik memasuki
Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang
disebut Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri
Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia berkedudukan
di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal-usulnya
tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tajimalela adalah nama lain dari
Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura
(Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab
Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan
yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji
Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri
Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar
pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki
sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana,
dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam
tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa
Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih
melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis
sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di
sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan
dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan
cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut
riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu
Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela
sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh
Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan
sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela.
Namun demikian, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan
Prabu Resi Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu
Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari
Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal
dengan sebutan Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip
dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi Babat Tanah Jawi, antara Ki
Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah
kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya.
Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang
Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan
tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu
Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu
Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini
yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang
lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda,
sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila harus menjadi raja.
Kakandalah yang lebih tepat,"
jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling
menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi
Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah
pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda,
tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata
Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu
Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan
dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah
airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung
menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah
meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka,
Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu
Lembu Agung malah berkata: "Adinda, tampaknya suratan takdir telah
menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu
Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah
Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan
tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang
sekarang disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu
Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh
putranya , Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di
Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan,
kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan
Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang
Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda.
Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat
ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan
tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu
Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu,
adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa
Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh
putranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang
Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Shintawati alias
Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai
gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Shintawati berjodoh dengan
Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa
Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua
permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningandan, Shintawati
dari Sumedang. Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu
Wulansari alias Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias
Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini
putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan
masuk Islam.
Dari Shintawati putri sulung Sunan
Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi
penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan
Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini
adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran
putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan perkawinan antara Ratu
Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang
pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai
penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka,
atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan
Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan
"syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan
sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang
Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah
murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang
menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk
pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk
Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran
Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya
(Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan
Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan
Cikeruh dan Santowaan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober
1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk
Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran
Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan
Ulun dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat,
sedangkan di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat
disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur
Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun
Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal
31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III
(Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan
kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan
bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang
terdiri dari 22 kandagalante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan
Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
- Timbanganten
- Batulayang
- Kahuripan
- Tarogong
- Curugagung
- Ukur
- Marunjung
- Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
- Selacau
- Daerah Ngabei Cucuk
- Manabaya
- Kadungora
- Kandangwesi (Bungbulang)
- Galunggung (Singaparna)
- Sindangkasih
- Cihaur
- Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
- Karang
- Parung
- Panembong
- Batuwangi
- Saung Watang (Mangunreja)
- Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
- Suci
- Cipiniha
- Mandala
- Nagara (Pameungpeuk)
- Cidamar
- Parakan Tiga
- Muara
- Cisalak
- Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan
Rangga Gempol III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis
Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum -
Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan
tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun
(1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan
Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan
Pajajaran mengutus empat Kandagalante untuk menyerahkan Mahkota serta
menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan
Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus
menjadi penerus Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang
berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus
pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang
haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah
Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja
Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya
diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira
Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui
Pangeran Geusan Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati
dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jayaperkosa
(Sanghyang Hawu); Wirajaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah
Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan
keempat bersaudara itu: "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira
rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka
mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara,
ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga peristiwa penobatan
Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja
Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang
terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu
tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak
+ 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang
telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya
ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
Jayaperkosa adalah bekas senapati
Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan.
Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri,
namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari
pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar
dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan
Geusan Ulun "nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi
kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon.
Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa
Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan
Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut
kerajaan yang dibawa oleh senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu
Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, sama
halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan
Mataram.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik
yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang
ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati,
Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat
Kerajaan Pajajaran Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu
itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut
runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk
Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang
Larang kian berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten
Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang
dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
- Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas
Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun
sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan
Hari Jadi Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa
Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan
Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
- Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R.
Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan
Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang
sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja
yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
- Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat
berjudul : Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi
ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran
terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber di atas,
maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para
sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh
Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar
Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22
April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat
II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8
Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten
Sumedang.
MANADO
Kota Manado adalah
ibu kota dari
provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado seringkali disebut
sebagai
Menado. Motto Sulawesi Utara adalah
Si Tou Timou Tumou Tou,
sebuah filsafat hidup masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh
Sam Ratulangi,
yang berarti: "Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain" atau
"Orang hidup untuk menghidupkan orang lain". Dalam ungkapan
Bahasa Manado,
sering kali dikatakan: "Baku beking pande" yang secara harafiah
berarti "Saling menambah pintar dengan orang lain".
Kota Manado berada di tepi pantai
Laut Sulawesi
persisnya di
Teluk Manado.
Taman Nasional Bunaken terletak tidak jauh
dari pantai Kota Manado.
Asal mula Kota Manado menurut legenda dulu berasal dari “Wanua Wenang”
sebutan penduduk asli Minahasa . Wanua Wenang telah ada sekitar abad XIII dan
didirikan oleh Ruru Ares yang bergelar Dotulolong Lasut yang saat itu menjabat
sebagai Kepala Walak Ares,dikenal sebagai Tokoh pendiri Wanua Wenang yang
menetap bersama keturunannya.
Versi lain mengatakan bahwa Kota Manado merupakan pengembangan dari sebuah
negeri yang bernama Pogidon. Kota Manado diperkirakan telah dikenal sejak
abad ke-16.
Menurut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh
orang-orang dari luar negeri. Nama "Manado" daratan mulai digunakan
pada tahun
1623
menggantikan nama "Pogidon" atau "Wenang". Kata Manado
sendiri merupakan nama pulau disebelah pulau Bunaken, kata ini berasal dari
bahasa daerah
Minahasa
yaitu
Mana rou atau
Mana dou yang dalam
bahasa
Indonesia berarti "di jauh". Pada tahun itu juga, tanah
Minahasa-Manado mulai dikenal dan populer di antara orang-orang
Eropa dengan hasil
buminya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah.
Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya
besluit Gubernur Jenderal
Hindia
Belanda tanggal
1 Juli 1919.
Dengan
besluit itu,
Gewest Manado ditetapkan sebagai
Staatsgemeente
yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan
gemeente
atau
Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang
Walikota
(
Burgemeester). Pada tahun
1951,
Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado
dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur
Sulawesi
tanggal
3 Mei
1951 Nomor 223. Tanggal
17 April
1951, terbentuklah Dewan
Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14.
Pada
1953
Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953
juncto Peraturan Pemerintah Nomor
15/1954. Tahun
1957,
Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun
1959, Kotapraja Manado
ditetapkan sebagai
Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1959. Tahun
1965,
Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado yang dipimpin oleh
Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Hari jadi Kota Manado yang ditetapkan pada tanggal
14 Juli
1623, merupakan momentum
yang mengemas tiga peristiwa bersejarah sekaligus yaitu tanggal 14 yang diambil
dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih
14 Februari
1946, dimana putra daerah
ini bangkit dan menentang penjajahan
Belanda
untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia,
kemudian bulan Juli yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli
1919, yaitu munculnya
Besluit
Gubernur Jenderal tentang penetapan
Gewest Manado sebagai
Staatgemeente
dikeluarkan dan tahun
1623
yang diambil dari unsur historis yaitu tahun dimana Kota Manado dikenal dan
digunakan dalam surat-surat resmi. Berdasarkan ketiga peristiwa penting
tersebut, maka tanggal 14 Juli
1989, Kota Manado merayakan HUT-nya yang ke-367. Sejak saat
itu hingga sekarang tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan
pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.
Suku Bangsa
Saat ini mayoritas penduduk kota Manado berasal dari
suku Minahasa,
karena wilayah Manado merupakan berada di tanah/daerah
Minahasa.
Penduduk asli Manado adalah sub suku Tombulu dilihat dari beberapa nama
kelurahan di Manado yang berasal dari
bahasa
Tombulu, misalnya: Wenang (Pohon Wenang/Mahawenang - bahan pembuat
kolintang), Tumumpa (turun), Mahakeret (Berteriak), Tikala Ares (Walak Ares
Tombulu, dimana kata 'ares' berarti dihukum), Ranotana (Air Tanah), Winangun
(Dibangun), Wawonasa (wawoinasa - di atas yang diasah), Pinaesaan (tempat
persatuan), Pakowa (Pohon Pakewa), Teling (Bulu/bambu untuk dibuat peralatan),
Titiwungen (yang digali), Tuminting (dari kata Ting-Ting: Lonceng, kata sisipan
-um- berarti menunjukkan kata kerja, jadi Tuminting: Membunyikan Lonceng),
Pondol (Ujung), Wanea (dari kata Wanua: artinya negeri), dll.; sedangkan daerah
Malalayang adalah suku Bantik, suku bangsa lainnya yang ada di Manado saat ini
yaitu
suku Sangir,
suku
Gorontalo,
suku Mongondow,
suku Arab,
suku Babontehu,
suku Talaud,
suku Tionghoa,
suku Siau dan kaum
Borgo. Karena banyaknya
komunitas peranakan arab, maka keberadaan
Kampung Arab yang berada
dalam radius dekat Pasar '45 masih bertahan sampai sekarang dan menjadi salah
satu tujuan wisata agama. Selain itu terdapat pula penduduk
suku Jawa,
suku Batak,
suku Makassar
dan
suku
Minangkabau
Suku Aceh
Agama
Agama yang dianut adalah
Kristen
Protestan,
Islam,
Katolik,
Hindu,
Buddha
dan
agama
Konghucu. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010
[2],
jumlah penduduk yang beragama Kristen 62,10 persen, Katolik 5,02 persen,
sedangkan Muslim 31,30 persen dan sisanya beragama lain. Meski begitu
heterogennya, namun masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran,
rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial
yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di
Indonesia. Sewaktu
Indonesia sedang rawan-rawannya disebabkan goncangan politik
sekitar tahun
1999
dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat
dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu
Torang samua basudara yang artinya "Kita semua bersaudara".
Bahasa
Bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Manado dan wilayah sekitarnya
disebut
bahasa Melayu Manado (
Bahasa Manado).
Bahasa Manado menyerupai
bahasa Indonesia tetapi dengan logat yang khas.
Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari
bahasa
Belanda,
bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya.
Budaya dan Gaya
Hidup
Musik tradisional dari Kota Manado dan sekitarnya dikenal dengan nama musik
Kolintang.
Alat musik Kolintang dibuat dari sejumlah kayu yang berbeda-beda panjangnya
sehingga menghasilkan nada-nada yang berbeda. Biasanya untuk memainkan sebuah
lagu dibutuhkan sejumlah alat musik kolintang untuk menghasilkan kombinasi
suara yang bagus.
Secara umum kehidupan di Kota Manado sama dengan kota-kota besar lainnya di
Indonesia.
Pusat kota terdapat di Jalan Sam Ratulangi yang banyak dibangun pusat-pusat
pembelanjaan yang terletak di sepanjang jalur utara-selatan yang juga dikenal
dengan tempat yang memiliki restoran-restoran terkenal di Manado. Akhir-akhir
ini Manado terkenal dengan makin menjamurnya mal-mal dan restoran-restoran yang
dibangun di sepanjang pantai yang memanfaatkan pemandangannya yang indah di
saat menjelangnya
matahari terbenam.
Kawanua
Masyarakat
Manado
juga disebut dengan istilah "warga
Kawanua".
Walaupun secara khusus
Kawanua diartikan kepada
suku Minahasa,
tetapi secara umum penduduk
Manado dapat disebut juga sebagai warga
Kawanua.
Dalam bahasa daerah
Minahasa, "
Kawanua"
sering diartikan sebagai penduduk negeri atau "wanua-wanua" yang
bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata "
Kawanua"
diyakini berasal dari kata "Wanua". Kata "Wanua" dalam
bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman.
Sementara dalam bahasa Minahasa, kata "Wanua" diartikan sebagai
negeri atau desa.
Dalam kurun waktu dua dekade
terakhir, kegiatan pariwisata dengan pesat tumbuh menjadi salah satu andalan
perekonomian kota. Primadona pariwisata kota Manado bahkan Provinsi Sulawesi
Utara adalah Taman Nasional Bunaken
yang oleh sementara orang disebut sebagai salah satu taman laut terindah di
dunia. Taman Laut Bunaken adalah salah satu dari sejumlah kawasan konservasi
alam atau taman nasional di Indonesia.
Taman Laut Bunaken terkenal oleh formasi terumbu karangnya yang luas dan indah
sehingga sering dijadikan lokasi penyelaman oleh turis-turis mancanegara. Pulau
Bunaken adalah salah satu dari 5 pulau yang tersebar beberapa kilometer dari
pesisir pantai Kota Manado. Letaknya yang hanya sekitar 8 Km dari daratan kota
Manado dan dapat ditempuh dalam sekitar setengah sampai 2 jam, menyebabkan
Taman Nasional ini mudah dikunjungi.
Objek wisata lain yang menonjol di
kota Manado adalah Kelenteng Ban
Hin Kiong di kawasan Pusat Kota yang dibangun pada awal abad ke-19
dan diperbaiki pada tahun 1970. Klenteng ini terletak di Jalan Panjaitan. Klenteng ini
terdiri dari bangunan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran naga dan tongkat kayu
berapi. Saat yang paling baik untuk mengunjungi klenteng ini yaitu pada saat Tahun Baru
Imlek, saat dipertunjukkannya tarian tradisional Tionghoa. Juga pada
saat kedatangan parade tradisional Tionghoa, Tai Pei Kong yang berasal dari abad ke-14.
Peristiwa tersebut merupakan festival "Taoist" tahunan terbesar yang
diadakan di Asia Tenggara, sehingga menarik pelancong dari
negara lain. Lokasi wisata lainnya juga adalah Museum Negeri Sulawesi Utara dan
Monumen (Tugu Peringatan) Perang Dunia Kedua.
Sebuah monumen yang diresmikan pada
akhir tahun 2007 dan menjadi ikon baru kota Manado adalah Monumen Yesus Memberkati. Bangunan ini
didirikan di atas bukit di perumahan Citraland Manado dan memiliki ketinggian
50 meter di atas permukaan tanah. Bangunan yang diprakarsai oleh Ir. Ciputra
ini merupakan monumen Yesus Kristus yang tertinggi di Asia dan ke dua di dunia
setelah Christ the Redeemer.
Selain memiliki objek-objek wisata
yang menarik, salah satu keunggulan pariwisata kota Manado adalah letaknya yang
strategis ke objek-objek wisata di hinterland, khususnya di Minahasa yang dapat
dijangkau dalam waktu 1 s/d 3 jam dari kota Manado. Objek-objek wisata tersebut
antara lain, Vulcano Area di Tomohon, Desa Agriwisata Rurukan-Tomohon, Panorama
pegunungan dan Danau Tondano, Batu Pinabetengan dan Taman
Purbakala Waruga
Sawangan
Kecamatan Airmadidi
Kabupaten Minahasa Utara.
Karena potensi wisata yang besar
tersebut maka industri pariwisata di kota Manado telah semakin tumbuh dan
berkembang yang antara lain ditandai dengan cukup banyaknya hotel dan sarana
pendukung lainnya. Sampai tahun akhir tahun 2001, terdapat 67 buah
hotel/penginapan, 15 buah biro perjalanan, 223 buah restoran dan rumah makan
dari berbagai kelas.
Oleh karenanya meskipun cukup
terpengaruh oleh krisis ekonomi dan situasi nasional yang kurang kondusif,
tetapi pariwisata di kota Manado tetap berlangsung. Pada tahun 1998 kunjungan
wisatawan mancanegara adalah 34.509 orang, menjadi 11.538 orang pada tahun 2000
dan agak meningkat pada tahun 2001 menjadi 12.301 orang. Sedangkan wisatawan
Nusantara pada tahun 1998 berjumlah 432.993 orang, kemudian turun menjadi
279.014 orang pada tahun 2000 dan terakhir pada tahun 2001 agak meningkat
menjadi 291.037 orang.
Manado
Kota Pariwisata Dunia 2010
Untuk meningkatkan potensi
pariwisata Manado, Jimmy Rimba Rogi sebagai
Walikota periode 2005 - 2010, mencanangkan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia
2010, pencanangan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan potensi pariwisata di
Kota Manado sehingga dapat diperhitungkan sebagai tujuan wisata dunia kelak.
Beberapa kebijakannya yang paling dikenal adalah dengan melakukan relokasi
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang telah lama berdagang di Taman Kesatuan Bangsa
atau dulunya disebut Pasar ‘45 dan mengembalikan fungsi trotoar sebagai tempat
pejalan kaki bukan sebagai tempat berjualan PKL. Upaya yang dilakukannya sangat
berkontribusi dalam hal diraihnya kembali penghargaan Adipura untuk kota Manado
pada tahun 2007.
Pusat
Perbelanjaan dan Hiburan
Pusat perbelanjaan di Kota Manado
mulanya terkonsentrasi di seputar Taman Kesatuan Bangsa (TKB)atau Pasar‘45.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi kota Manado, dalam kurun waktu beberapa
tahun belakangan ini, industri properti dan retail di Manado berkembang cukup
pesat. Bermula dari proyek reklamasi pantai yang dilakukan selama 10 tahun
lebih, dibangun setelah jalan tepi pantai atau boulevard diresmikan
tahun 1993 dan dinamai Jalan Piere Tendean atau yang lebih dikenal dengan
Manado Boulevard.
Setelah reklamasi pantai selesai
dibangulah proyek raksasa dengan dibukanya pusat-pusat perbelanjaan modern
baru yaitu Mega Mall Manado, Manado Town Square, Blue Banter City Walk, IT Center Manado, Bahu Mall,
Lion Plaza, Kawanua City Walk, Star Square Manado dan Mega Trade Center. Di
sepanjang jalan ini pun terdapat beberapa hotel berbintang, restoran dan cafe
yang menjajakan beraneka ragam makanan dan buka hingga larut malam. Pusat
cinderamata khas manado dapat ditemukan di Jalan B.W. Lapian. Terdapat beberapa
toko suvenir yang menjual makanan, busana, kerajinan tangan khas
Manado/Sulawesi Utara.
Makanan
khas
Makanan khas dari Kota Manado antara
lain, Tinutuan
yang terdiri dari berbagai macam sayuran. Tinutuan bukanlah bubur, sebagaimana
selama ini orang mengatakannya sebagai bubur Manado. Selain Tinutuan, terdapat
Cakalang Fufu yaitu ikan cakalang yang diasapi, ikan roa, Paniki (masakan dari kelelawar)
dan RW (er-we) yaitu masakan dari daging anjing, babi
Putar (1 ekor babi dibakar dengan cara diputar di atas bara api), biasanya
dihidangkan di pesta-pesta, Babi Isi Bulu (terbuat dari daging babi yang diramu
dengan bumbu-bumbu khas manado dan dibakar di dalam bambu). Terdapat juga
minuman khas dari daerah Manado dan sekitarnya yaitu "saguer" yaitu
sejenis arak atau tuak yang berasal dari pohon enau. Saguer ini memiliki
kandungan alkohol,
Cap Tikus (minuman beralkohol tinggi dari proses fermentasi).
Makanan khas kota Manado lainnya
yang juga cukup terkenal adalah nasi kuning yang cita rasa dan penyajiannya
berbeda dengan nasi kuning di daerah lain. Selain itu ada juga masakan kepala
ikan kakap bakar. Dabu-dabu adalah sambal khas Manado yang sangat populer,
dibuat dari campuran potongan cabe merah, cabe rawit, irisan bawang merah dan
tomat segar yang dipotong dadu dan terakhir diberi campuran kecap.
Untuk makanan ringan, Manado juga
punya makanan khas sejenis asinan yaitu gohu dan es kacang. Gohu dibuat dari
irisan buah pepaya yang direndam dalam larutan asam cuka, gula, garam, jahe dan
cabe. Selain itu ada juga kue seperti lalampa (lemper berisi ikan cakalang yang
diisi dalam segumpalan beras ketan dan dibungkus dengan daun pisang lalu
dibakar), panada (sejenis roti goreng berisi ikan cakalang dan dibentuk dengan
pilinan pada bagian tepinya), apang,klapertart manado, kolombeng, panekuk,dodol
manado,kueku, pinende, biapong (babi, wijen, "unti" (terbuat dari
kelapa)). Dan yang tidak ketinggalan adalah, nasi jaha yang terbuat dari beras
ketan yang dicampur dengan santan, jahe, bawang merah dan lain-lain, kemudian
dimasukan ke dalam bambu lalu dibakar.
Ekonomi
Sebagian besar penduduk Kota Manado
bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), guru atau pegawai swasta (41,44%),
sebagai wiraswasta (20,57%), pedagang (12,85%), petani/peternak/nelayan
(9,17%), buruh (8,96%). Sisanya bergerak di sektor jasa dan lain-lain (7%).
Angka Produk
Domestik Regional Bruto (PRDB) Kota Manado tahun 2000 adalah Rp. 2,14
trilyun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan angka tahun 1994 yang berjumlah Rp.
703,87 milyar. Tingkat pertumbuhan yang dicapai dalam kurun waktu tersebut
rata-rata 6,11% per tahun. Pada tahun 1994 sampai 1996 angka pertumbuhan
berada di atas 10% kemudian melambat menjadi 2,92% pada tahun 1997 dan 0,32% ditahun 1998 dimana merupakan
angka terendah. Pada tahun 1999, pertumbuhan meningkat lagi menjadi 1,60% dan ditahun 2000 menjadi 5,62%.
Sejak munculnya krisis ekonomi yang
melanda Indonesia
tahun 1997, perekonomian kota Manado sangat terpengaruh. Hal ini dapat dilihat
dari meningkatnya angka pengangguran yang diperkirakan pada tahun 2000 masih
sebesar 20.465 orang atau 13.67% dan meningkatnya jumlah keluarga miskin
sebanyak 19.754 Kepala Keluarga (KK) atau 24,60%. Pada tahun 1999, terdapat indikasi
adanya pemulihan perekonomian kota yang signifikan. Pendapatan perkapita kota
Manado naik dari Rp 1.753.482 pada tahun 1994 menjadi Rp 4.452.672
pada tahun 2000.
Perekonomian kota Manado khususnya
terdiri dari sektor perdagangan, perhotelan dan restoran, sektor pengangkutan
dan komunikasi serta sektor jasa. Pada tahun 1996 peran ketiga sektor
utama ini dalam pembentukan PDRB adalah sejumlah 68,74%. Dalam kurun waktu 5
tahun, peran ketiga sektor ini cenderung semakin dominan yang dilihat dari
kontribusinya pada tahun 2000 yang meningkat menjadi 74,68%. Laju inflasi
kota Manado selama kurun waktu dua tahun terakhir (2000-2001) sangat
berfluktuatif. Pada tahun 2000 sempat mengalami deflasi
sebanyak lima kali yaitu masing-masing pada bulan Januari sebesar –0,25%, April
–0,08%, Mei -0,13%, Agustus -0,85% dan Desember -0,16%. Sedangkan inflasi
tertinggi terjadi pada bulan pada bulan Oktober yaitu sebesar 4,05%. Sehingga
secara kumulatif inflasi yang terjadi di Manado sebesar 11,41%. Pada tahun 2001
terjadi deflasi sebanyak 3 kali, yaitu pada bulan Februari sebesar –0,56%,
Agustus -0,23% dan Desember sebesar –0,26%. Sedangkan inflasi tertinggi pada
tahun 2001 terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 2.83% dimana secara kumulatif
inflasi pada tahun 2001 mencapai 13,30%.
Transportasi
Udara
Bandar Udara Sam Ratulangi
Kota Manado melalui bandar udaranya, Sam Ratulangi terhubung dengan beberapa
kota besar lain di Indonesia seperti, Jakarta,
Surabaya,
Makassar
dan Balikpapan.
Selain itu bandara ini juga mempunyai penerbangan langsung dari dan ke luar
negeri yaitu Singapura,
Manila,
Kuala Lumpur
(mulai 12 September 2008) dan Davao, Filipina. Bandara yang mengalami renovasi pada tahun 2001 ini
merupakan salah satu dari 11 pintu gerbang utama pariwisata di Indonesia.
Dengan panjang landas pacu sepanjang 2650 m dan lebar 45 m, bandara ini sanggup
untuk didarati pesawat berbadan lebar sejenis Boeing
777-200 dan Airbus A330. Terminal penumpangnya memiliki
fasilitas penunjang berstandar internasional dan dilengkapi dengan empat buah
garbarata.
Laut
Dermaga di Manado umumnya dilayani
oleh kapal-kapal berukuran kecil. Hal ini dikarenakan lokasi perairan Manado
yang berdekatan dengan lokasi Taman Laut Bunaken
yang dilindungi dan juga perairan yang cukup dangkal. Pada umumnya, kapal-kapal
yang bersandar di pelabuhan Manado adalah kapal dengan tujuan Kepulauan Sangir
dan Kepulauan Talaud. Speed boat dari dan menuju Bunaken
umumnya berlabuh di dermaga ini. Kapal-kapal berukuran besar milik PT. Pelni berlabuh di kota Bitung,
berjarak kurang lebih 40 km sebelah timur Manado.
Darat
Sistem transportasi darat Kota Manado dilayani
oleh minibus angkutan kota yang biasa disebut mikrolet,
taksi argo dan Bus DAMRI, tapi bus yang beroprasi di dalam kota sudah tidak
ada. Sebagian besar rute dalam kota dilayani oleh mikrolet yang menghubungkan
beberapa terminal bus dalam maupun luar kota dengan pusat kota Manado. Mikrolet
umumnya beroperasi hingga pukul 22.00 wita (hari kerja) atau pukul 00.00 wita
(akhir pekan). menaiki transportasi umumnya mikrolet di manado ada yang unik,
umumnya Mikrolet di manado sudah di modifikasi dan dilengkapi dengan sound
system, ada juga yang menaruh layar LCD bahkan ada juga yang memodifikasi
bagian interior mobil, ini untuk memenuhi tingkat kenyamanan penumpang dan
taksi umumnya melayani rute-rute ke luar kota sedangkan Bus DAMRI melayani rute
Bandara - Terminal Bus luar kota di Malalayang.